Catatan Derap Kaki Perjuangan
Rosyda Amalia FIB UGM 2015
Tidak ada istirahat hari ini.
Begitu juga esok, lusa, masa depan, dan masa lalu.
Kalau kata banyak orang hidup adalah tentang berjuang, maka kali ini akan kuceritakan bagaimana perjuanganku untuk bisa memijak bumi gadjah mada seperti sekarang.
Saat duduk di bangku Madrasah Aliyah (MA), bisa dibilang aku adalah santri yang cukup rajin dan punya nilai akademik yang baik. Aku tidak pernah lepas dari peringkat 4 sejak duduk di kelas 10. Namun, begitu mengetahui bahwa kesempatan bagi anak pondok untuk masuk perguruan tinggi negri melalui jalur SNMPTN itu sulit sekali, jadilah aku merasa sedih dan sedikit kehilangan gairah hidup.
Saat itu, aku duduk di kelas IPA. Pelajaran yang menjadi favoritku semasa sekolah adalah matematika. Mungkin kalau dibilang jago juga tidak, tetapi karena rasa sukalah yang pada akhirnya membuatku bisa cukup unggul di bidang ini. Namun untuk melanjutkan kuliah di matematika? Aku ragu-ragu saat itu. Entah mengapa, aku justru ingin mengambil jurusan teknologi informasi. Sepertinya aku cukup keracunan film barat yang teknologinya canggih bukan main—membuatku tergiur ingin memasuki bidang teknologi informasi. Kuat sekali tekadku saat itu. Kutuliskan di setiap buku bagian depan, kutempel di lemari dan tempat tidur, bahwa aku ingin masuk ke jurusan teknologi informasi. Awalnya aku terbesit ingin melanjutkan kuliah di ITB. Namun, orang tuaku tak membolehkan lantaran terlalu jauh. Jadilah aku memilih untuk di UGM saja.
Singkat cerita, SNMPTN aku tidak lulus. Hanya dua orang dari sekolahku yang lulus dalam SNMPTN. Satu di peternakan UGM, satu di agribisnis IPB. Yah, susah diharapkan memang kalau SNMPTN. Akhirnya, aku mencoba berjuang di SBMPTN. Kabar buruknya, aku tidak lolos. Kejadian ini sedikit banyak mempengaruhi jiwaku. Aku jadi rapuh dan rentan sekali menangis. Disaat teman-temanku sudah asik menikmati liburan, aku masih berkutat dengan soal-soal untuk kemudian berjuang lagi di UMBPT UNS. Sedihnya lagi, aku sampai tidak ikut ibu dan kakakku ke rumah nenek karena harus belajar.
Entah karena kekecewaan yang terlampau besar atau bagaimana, di UMBPT UNS pun aku tidak lulus. Akhirnya, ibuku memberikan pilihan, tetap kuliah tahun ini tetapi di universitas swasta, atau mengulang tahun depan. Dan aku pun memutuskan untuk mengulang tahun depan.
Keputusan yang salah? Tidak. Hanya saja ini berat sekali. Ketika pada akhirnya semua temanku bertanya aku melanjutkan kuliah dimana, benteng pertahanan yang sudah kubangun sedemikian rupa untuk bisa kuat, roboh satu-satu. Setiap ada yang bertanya, roboh. Kubangun lagi, lalu ditanya lagi, roboh lagi. Aku tidak tahu bagaimana perasaa teman-teman lain yang bernasib sama denganku jika dilontarkan pertanyaan seperti itu. Tapi bagiku, itu sangat menyakitkan. Apalagi jika ada yang sampai bertanya dengan embel-embel, “Seorang Rosyda, tidak kuliah tahun ini?”
Mengapa sebegitu menyakitkannya? Pertama. Selama duduk di bangku MA, seperti yang telah kuceritakan di atas, aku termasuk anak yang cukup rajin dengan nilai akademik yang baik. Aku beberapa kali menjadi delegasi lomba dan olimpiade di sekolahku—meski tidak menang. Aku dikenal cukup baik oleh ustad dan ustadzah, dan poin pentingnya, aku lulus dengan predikat mumtaz atau sangat baik. Inilah sebetulnya yang menjadi tekanan ketika pada akhirnya aku belum bisa melanjutkan kuliah di tahun tersebut.
Tapi, semenjak kejadian itu aku berubah banyak. Aku bertekad kuat untuk memperbaiki semua kesalahanku. Aku mengevaluasi diri, percaya bahwa Allah punya cara dan jalan yang terbaik untuk hamba-Nya. Meski terkadang pertahananku masih sering roboh dan air mataku masih kerap mengalir, aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap berjuang. Salah satu yang menguatkanku saat itu adalah Ustad Kirbani. Beliau adalah guru les matematikaku saat masih duduk di bangku MA. Saat itu beliau berjanji, akan memberiku gantungan kunci setiap kali beliau pergi ke suatu kota, dengan syarat, aku juga berjanji tidak akan pernah berhenti berjuang. Inilah yang paling membuatku bisa kembali bangkit dan terus menjaga semangat.
Aku mengambil bimbingan belajar lagi, satu tahun. IPA. Karena pada saat itu aku belum berani mengendarai motor, jadilah aku harus menggunakan transportasi umum untuk bisa sampai ke lokasi bimbel. Pulang pergi menunggu bus, begitu setiap hari. Jangan dibayangkan menunggu bus di depan rumah. Aku harus menunggu bus di halte yang jaraknya cukup jauh dari rumahku. Belum lagi kalau sore hujan. Ah, aku pernah sampai ingin menangis saat harus pulang berjalan kaki di tengah hujan deras dan banjir hingga sebetis. Syukurnya, di tempat bimbel aku bertemu dengan banyak orang yang memberiku semangat. Banyak dari mereka yang juga rela mengulang satu tahun lantaran belum mendapatkan tempat untuk melanjutkan kuliah. Dan ketika bimbel itulah, aku menemukan hikmah, pelajaran, dan perubahan besar dalam diriku.
Jika kelas dimulai pukul 10.00 WIB, maka aku akan berangkat pukul 08.00 WIB. Aku harus memperkirakan waktu untuk menunggu bus hingga sampai di lokasi bimbel. Inilah yang kemudian membentukku menjadi pribadi yang disiplin. Kalau ternyata sampai di lokasi bimbel masih terlalu pagi, aku akan mampir ke masjid yang cukup dekat dari lokasi bimbelku, untuk sekadar duduk kemudian hafalan atau membaca materi. Masjid tersebut satu bangunan dengan sebuah sekolah menegah pertama (SMP). Jadi terkadang, aku cukup terhibur dengan tingkah laku anak-anak SMP itu saat istirahat. Singkatnya, aku banyak belajar selama satu tahun. Kedewasaaan dan pemahamanku terhadap kehidupan berkembang pesat. Membuatku menjadi pribadi yang kuat dan tak lagi mudah menangis.
Hingga akhirnya, perasaaan itu hadir. Aku mulai bimbang akan lanjut memperjuangkan mimpi masuk ke teknologi informasi UGM atau tidak. Dilihat dari nilai-nilai try outku, aku memang lolos setiap kali hasilnya keluar. Tetapi, peringkatku selalu berada pada rentang yang biasa-biasa saja. Sedangkan fenomena di SBMPTN adalah kita bersaing dengan puluhan ribu orang yang kita tidak pernah tahu bagaimana kemampuan mereka. Kalau aku masih biasa-biasa saja, besar kemungkinan aku tidak akan lolos lagi tahun ini. Akhirnya, aku memutuskan untuk bercerita pada ibuku. Karena ibuku juga bingung, akhirnya beliau memintaku untuk mendatangi Ustadzah Sulastri—salah seorang guru BK di pondok dulu.
Ketika bertemu dengan Ustadzah Sulastri, aku bicara banyak. Sampai pada akhir pembicaraanku, Ustadzah Sulastri tersenyum lantas berkata, “Kamu memang cocoknya di soshum, Nak. Kalau ga Ilmu Komunikasi ya Sastra.” Kemudian aku tertegun sesaat. Ilkom? Sastra? Baiklah. Kalau ilkom aku mungkin masih bisa terima. Tapi sastra? Aku berani bersumpah sepanjang hidupku samapai detik itu tidak pernah terlintas pikiran untuk melanjutkan kuliah di jurusan sastra. Tersadar bahwa ada jurusan sastra saja, baru pada saat itu. Hingga pada akhirnya, aku memutuskan untuk sholat istikhoroh guna mendapat jawaban yang terbaik.
Allah menjawab doaku. Beberapa tulisan yang kuikutkan dalam sebuah kompetisi, berhasil meraih juara. Akhirnya tanpa ragu lagi, H-2 minggu aku banting setir. Dengan segala kekuatan yang tersisa, aku meyakinkan diri bahwa akan ada hikmah besar di balik keputusan nekat yang kuambil saat itu. Hampir semua teman bimbelku menganggapku gila dan main-main. Tapi bukan Allah kalau merencanakan sesuatu tidak dengan sempurna. Nilai-nilai try outku naik drastis, bahkan pernah menduduki rangking 3. Aku semakin menggila. Dua buku latihan soshum kulahap habis. Berbagai macam tambahan dari pagi sampai sore kuikuti tanpa ampun. Kuhabiskan malam dengan belajar materi sampai jatuh tertidur. Doaku tak henti-henti, berharap besar semoga Allah benar-benar memberiku jalan terbaik kali ini.
Menjelang pengumuman hasil SBMPTN, aku tidak tenang. Semenjak pagi aku gelisah bukan main. Semakin mendekati maghrib, bukannya aku senang karena itu artinya waktu berbuka sebentar lagi tiba, aku justru gemetaran, mengingat pengumuman hasil SBMPTN akan serentak diumumkan pada pukul 18.00 WIB.
Kabar buruknya, aku sedang di rumah nenek di desa. Sinyal cukup buruk dan itu jelas membuatku semakin gelisah. Tiba-tiba, ada pesan whatsapp dari omku yang berada di Solo, menanyakan tanggal kelahiranku. Lantas beliau mengirimkan gambar yang menyatakan bahwa aku diterima di jurusan Sastra Indonesia UGM. Spontan aku menangis dan memeluk nenekku. Saat itu aku hanya berdua dengan kakakku di rumah nenek. Kakakku lantas menepuk pundakku seraya berkata, “Wah jadi anak jogja sekarang.” Tak lama setelah itu, ucapan selamat satu persatu datang untukku.
Ya, di sinilah aku sekarang. Dengan segala perjuangan gila yang sebetulnya tak selesai sampai di sini. Keberhasilanku masuk Sastra Indonesia pun sebetulnya awal dari kegilaan yang terus berlanjut hingga kini. Tidak sedikit orang-orang yang kemudian berkomentar keheranan, “Seorang Rosyda, hanya masuk Sastra Indonesia?” Ya, lantas kenapa? Mendengarnya begitu menyakitkan memang. Tapi belajar dari kejadian yang lalu, kini aku sudah jauh lebih kuat. Bukan lagi saatnya mempertanyakan mengapa begini dan mengapa begitu. Karena aku yakin, ini adalah jalan terbaik yang Allah berikan untukku, sebagai ladang dakwah dan pahala untuk bisa meraih Surga-Nya kelak. Terima kasih, Allah.
Atas setiap derap kaki di bumi tempat aku berpijak kini,
Tuhan mencatatkan segala jenis darah juang dan getir air mata pengorbanan


0 comments:
Post a Comment