Mencintai Dunia Hukum | Endri FH UGM 2012

Mencintai Dunia Hukum

Endri, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 2012




Judul yang saya pilih ini persis sama dengan judul artikel hasil wawancara saya dalam rubrik Remaja yang terbit di Koran Singgalang hari Minggu, 27 November 2016. Salah satu pertanyaan wawancara yang membuat saya berpikir keras untuk menjawabnya ialah “mengapa memilih kuliah di jurusan ilmu hukum?”. Pertanyaannya sederhana, tetapi untuk menjawab secara tepat membuat saya harus merenung lumayan lama saat itu, mencoba mengingat-ingat kembali detik-detik semasa akhir SMA dulu.
Saya coba uraikan tulisan saya ini berbentuk jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, harapannya dapat lebih mudah dipahami oleh siapapun yang membaca, terutama adik-adik yang akan memilih jurusan di kampus yang difavoritkan. Dikarenakan saya seorang mahasiswa hukum, maka isi tulisan ini hampir bisa dipastikan sebagian besarnya bicara tentang jurusan ilmu hukum, meskipun di sana-sini juga menyinggung tentang dunia mahasiswa pada umumnya.
Mengapa Fakultas Hukum?
Jawaban atas pertanyaan ini harus saya mulai dengan membahas stereotipe kebanyakan orang awam tentang dunia hukum. Entah mengapa, dunia hukum selalu diidentikkan dengan dunia yang njelimet, kaku, horor, suram, banyak kepentingan politik atau bahasa kerennya intrik-intrik politik, menjebak, lebih-lebih jika sampai ke tahap mencekam. Fobia ini dipupuk sedari masih berstatus siswa, misalnya saja saya sendiri ketika memutuskan memilih masuk Fakultas Hukum dicecar dengan banyak pertanyaan oleh beberapa kerabat di keluarga saya sendiri. Stereotipe ini tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Ini saya sadari setelah 4 tahun 5 bulan belajar hukum. Terlepas dari hal itu, persoalannya ketika kita tahu ada kebobrokan dan ketidakberesan dalam dunia hukum saat ini, apa yang akan kita lakukan? Memilih diam dan menghindar? Atau memilih mengambil peran, turun tangan untuk memperbaiki? Memilih mengutuki kegelapan, atau memilih menyalakan lilin? Sekilas kalimat-kalimatnya sangat retoris, tetapi ya beginilah adanya.
Kebanyakan orang mungkin akan memilih menjauh, lepas tangan, berpikir ribuan kali untuk berkecimpung. Berharap akan ada sosok-sosok super baik level dewa yang akan mengurusi kebobrokan hukum di negeri ini. Sayangnya kita terlambat tahu, bahwa tidak ada orang lain selain anak bangsa ini yang harus melakukannya. Yakinlah ketika anak bangsa ini memilih untuk tidak melibatkan diri memperbaiki dunia hukum saat ini, maka tidak akan ada yang melakukan. Sering kita mendengar, ketika dunia hukum tidak diisi oleh orang-orang baik, tidak digawangi oleh orang-orang baik, yakinlah ia akan diisi oleh orang-orang jahat. Ini sebuah keniscayaan. Tidak ada pilihan untuk menghapus dunia hukum tersebut, karena ia konsekuensi dari hidup yang bermasyarakat. Hukum adalah kebutuhan karena kita hidup bernegara dan bermasyarakat dan mendambakan ketertiban, hari ini hingga kapanpun. Adagium hukum dalam bahasa Latin mengistilahkannya ubi societas, ubi ius. Dimana ada masyarakat, maka disitu ada hukum. Memilih belajar hukum di Fakultas Hukum berarti memilih untuk siap melakukan itu semua. Memutuskan menjadi seorang intelektual hukum berarti siap turun tangan, mengambil peran memperbaiki kondisi yang tidak ideal tersebut.
“Tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta”. Peribahasa ini juga berlaku di dunia kampus. Mengapa memilih Fakultas Hukum? Mengapa memilih jurusan ilmu hukum? Pastikan kita punya alasan yang kuat untuk pertanyaan ini. Sepanjang pengamatan saya, ada catatan penting untuk seorang calon mahasiswa terkait alasan memilih jurusan ini. Pilihlah jurusan di kampus yang sesuai dengan minat, bukan yang sekedar prospek, apalagi hanya karena mempertimbangkan gengsi. Prospek kerja perlu dipertimbangkan, tetapi ini bukan proritas pertama. Banyak sekali calon mahasiswa merasa telah memilih secara tepat jurusan kuliahnya karena melihat bahwa jurusannya itu difavoritkan banyak orang, atau karena biasanya penghasilannya besar jika sudah bekerja nantinya, atau pula hanya melihat prospek kerja yang baik karena dibutuhkan banyak perusahaan misalnya. Sadar bahwa itu bukan jurusan yang diminatinya ketika sudah di tengah jalan. Untuk mahasiswa yang mengalami kondisi seperti ini, banyak yang akhirnya memilih pindah fakultas atau bahkan pindah kampus. Bayangkan betapa banyak biaya dan waktu yang sudah dikorbankan untuk itu.
Akan lain ceritanya ketika memilih jurusan sesuai minat, belajar di jurusan yang diminati layaknya menjalani sebuah hobi. Kuliah akan terasa sangat menantang dan menggembirakan. Ibarat hobi, seluruh perhatian dan pikiran akan tertuju pada bagaimana menikmati hobi itu. Dengan begini, kampus justru jadi tempat yang menyenangkan, bukan tempat yang menyeramkan. Kampus bukan dianggap sebagai pemberi beban, hingga akhirnya dihindari. Pergi ke kampus, menghabiskan waktu di sana bukanlah sebuah rutinitas yang membosankan. Pergi ke kampus sama artinya dengan pergi ke tempat dimana hobi dilakukan. Untuk mencapai kondisi yang seperti ini, syarat pertama tadi tentu tidak boleh dikesampingkan sama sekali.
Akibat positifnya, sesulit apapun proses belajar yang akan ditempuh nantinya semasa kuliah, disebabkan minat maka tentu kita akan sangat menikmati proses itu, hingga akhirnya masa studi selesai. Mereka yang lulus dengan hasil yang membanggakan adalah mereka-mereka yang sudah meletakkan minatnya terlebih dahulu sebelum menjalani proses kuliah di jurusan itu. Lebih jauh lagi, kualitas seorang sarjana yang memilih jurusan kuliahnya karena minat dengan yang tidak minat alias “sekedar memilih” dan “yang penting lulus” tentu berbeda. Ini bicara tentang kualitas proses kuliah yang dilalui. Betapa banyak yang justru tidak punya proyeksi ke depan setelah lulus kuliah dari jurusannya. Ini bukan hanya untuk calon mahasiswa hukum, saya rasa semua jurusan juga akan berlaku hal yang sama.
Pilihlah jurusan sesuai minat. Belajar di Fakultas Hukum pun juga demikian. Pastikan memilih belajar hukum karena minat, bukan karena pendapatan dari pekerjaan yang digeluti nantinya, apalagi karena gengsi dalam pergaulan. Di sini saya sangat mengapresiasi mereka-mereka yang sudah lebih awal, bahkan mungkin sejak masuk SMA sudah meminati belajar hukum dan sudah berencana masuk Fakultas Hukum ketika kuliah nanti. Izinkan saya mengulas awal mula cerita saya memilih belajar hukum di UGM. Memutuskan masuk Fakultas Hukum baru saya lakukan ketika akhir-akhir masa SMA. Minat belajar saya sejak kelas 3 SMA semester 2 berubah ke rumpun ilmu sosial, meskipun SMA saya saat itu hanya memiliki jurusan IPA. Hal ini sebenarnya banyak dipengaruhi lingkungan organisasi yang saya tekuni, membuat saya lebih banyak bersentuhan dengan ilmu-ilmu sosial secara tidak langsung. Ketika akan masuk kuliah, saya niatkan untuk tetap mengambil jurusan sosial, melanjutkan minat saya itu. Pada akhirnya saya memilih Fakultas Hukum disebabkan -mungkin jawaban ini sama dengan mahasiswa hukum lainnya- saya yakin belajar hukum tidak semengerikan yang dipahami orang banyak, hanya hafal pasal-pasal dalam undang-undang, bacaannya hanya kitab undang-undang yang tebalnya bisa dijadikan bantal tidur, atau belajar hukum ujung-ujungnya jadi pengacara yang bisanya hanya membela orang-orang tersangkut perkara hukum di pengadilan. Saya yakin belajar hukum lebih berwarna dari itu. Dalam bayangan saya belajar tentang hukum berarti berusaha mengenali dunia yang masih misterius, ini menarik untuk saya tekuni lebih jauh.
Di saat yang sama, saya niatkan pula memilih Fakultas Hukum sebagai bentuk kontribusi saya memperbaiki hukum Indonesia yang masih cita rasa penjajah kolonial. Siapapun tahu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia hari ini adalah warisan kolonial Belanda dan benar adanya sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia hari ini. Namun karena kita belum mampu memperbaruinya, termasuk karena kurangnya kapasitas keilmuan, KUHP yang bahkan di Belanda sudah direvisi sebanyak tujuh belas kali tersebut masih digunakan hingga detik ini. Selain KUHP, ada ratusan peraturan perundang-undangan lainnya dengan kondisi serupa.
Ketika sudah mulai belajar hukum di Fakultas Hukum UGM, tekad itu kian membesar. Saya semakin dibukakan wawasan bahwa memang masih banyak pekerjaan rumah besar bagi negeri ini untuk memperbaiki hukumnya. Jika tidak mampu mengganti, minimal menambal lubang-lubang yang ada agar yang namanya tujuan hukum itu benar-benar terwujud, agar yang namanya rakyat hidup sejahtera di tanah airnya sendiri tersebut benar-benar terjadi. Jika Indonesia sebagai sebuah nation ini didirikan untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial”, maka hukum nasional kita seharusnya bertujuan merealisasikan itu semua. Optimisme akan masa depan dunia hukum yang lebih cerah dan menjanjikan, lebih baik dan bermartabat adalah tugas anak bangsa ini. If not now when, if not we who else. Maka mari nyalakan lilin.
Apa nilai-nilai dasar yang harus dimiliki seorang mahasiswa hukum?
“Selamat datang di kawah candradimuka pendidikan hukum terbaik di Indonesia.” Ini kalimat pertama yang terngiang di telinga saya ketika welcoming party di Aula Fakultas Hukum UGM. Ya, secara kualitas boleh dibilang Fakultas Hukum UGM ini salah satu yang terfavorit dan kualitas alumninya tak perlu diragukan lagi. Di awal mula masuk kuliah tentu semua mahasiswa sudah awam yang namanya orientasi dan pengenalan kampus. Ini momen-momen ajang pembentukan karakter mahasiswa karena yang namanya kampus tidak sama dengan sekolah, misalnya saja di kampus mahasiswa lebih banyak dituntut “menyuap” ilmunya sendiri dibandingkan “disuap”. Itu artinya mandiri dalam belajar, membiasakan banyak membaca, sehingga ruang kuliah lebih banyak berperan sebagai stimulan dan pengembang. Apalagi untuk seorang mahasiswa hukum, membaca adalah kunci dan itu dituntut untuk dilakukan sendiri oleh si mahasiswa.
Belajar hukum bukan hanya mementingkan kecerdasan semata, bukan hanya memahami dengan baik teori-teori hukum, bahkan mampu menghafal teorinya tanpa lupa satu kalimat pun, belajar hukum juga belajar mengasah logika dan rasa. Saya rasa semua sarjana hukum sepakat dengan ini. Bentuk dari mengasah rasa ini ialah pentingnya penanaman nilai khas mahasiswa hukum. Penanaman nilai-nilai integritas, keadilan dan keberpihakan adalah kurikulum sarapan pagi sebelum menyantap mata kuliah yang lain. Bagi saya, ini bukan hal yang bisa ditawar-tawar. Jika kampus luput dari penanaman nilai seperti ini, pengetahuan tentang hukum justru hanya akan menjadi bumerang. Paham hukum hanya akan dimanfaatkan untuk yang sifatnya negatif.
Pertama, nilai integritas. Integritas tidak sama dengan jujur. Jujur berarti mengungkapkan sesuatu apa adanya, sesuai dengan apa yang terjadi. Sesuai dengan apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri. Integritas lebih dari itu. Integritas dapat dikatakan menikahkan ucapan dengan perbuatan. Integritas meyakinkan seorang sarjana hukum akan pentingnya bertahan di jalan keadilan dan kebenaran yang diyakininya di tengah kuatnya godaan untuk melakukan keculasan. Paham hukum tidak berhenti hanya pada sebatas mencegah seseorang tidak melakukan yang salah, tetapi lebih dari itu. Paham hukum juga mengharuskan meluruskan yang salah dan itu disemai oleh nilai-nilai integritas. Alih-alih melakukan, membiarkan keburukan terjadi di depan mata saja sudah menjadi sesuatu yang haram bagi seorang intelektual hukum. Kalau kata W.S Rendra, “mendiamkan kesalahan adalah pengkhianatan”. Ketika kita bilang tidak akan korupsi, maka sampai kapanpun tidak akan melakukan korupsi. Lalu kita tidak akan membiarkan orang lain melakukan korupsi. Ini bentuk integritas.
Kedua, adil. Adil tidak sama dengan sama rata. Jika merata maka semua orang mendapatkan ukuran jatah yang sama, sedangkan adil berarti memberikan hak sesuai dengan porsinya. Menarik jika saya mengutip potongan ayat Al-Quran yang juga ditulis di gerbang masuk Harvard Law School. Surat Annisa ayat 135 berbunyi "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Tahu terhadap segala apa yang kamu kerjakan.''  Peradaban manapun menjunjung tinggi keadilan. Ini tentang berlaku adil, tidak pandang bulu, tidak berat sebelah, memberikan haknya kepada yang berhak, mengambil hak dari yang tidak berhak. Seorang intelektual hukum “harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”, mengutip Pramoedya Ananta Toer.
Ketiga, keberpihakan. Paham hukum menuntut keberpihakan, untuk apa pengetahuan itu akan digunakan. Ini esensi intelektualisme. Hukum seringkali jadi senjata kekuasaan. Belajar hukum bukan alat untuk menindas. Disinilah makna keberpihakan itu ditempatkan. Seorang intelektual hukum tidak menggunakan pengetahuannya untuk menindas, belajar hukum justru untuk menjamin keadilan ditegakkan. Itulah mengapa salah satu profesi di bidang hukum disebut advokat, fungsinya melakukan advokasi, menyuarakan kebenaran lalu mengawal agar keadilan dapat ditegakkan. Advokat berperan menempatkan perkara sesuai dengan fakta yang sebenarnya, menjamin hak diberikan sesuai dengan porsinya, menjamin seseorang dihukum sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Memperjuangkan hak mereka yang berhak memperolehnya menjadi sense seorang intelektual hukum dan itu membutuhkan nurani yang berpihak.
Apa modal seorang intelektual hukum?
Saya rasa semua sarjana hukum sepakat bahwa yang namanya belajar hukum tidak boleh dilakukan hanya dengan mendengarkan kuliah dosen dan membaca reading assignment yang diberikan. Mengasah kompetensi keilmuan dengan mengikuti berbagai lomba dan bergabung dalam gerakan-gerakan sosial serta berorganisasi adalah kunci bagi mahasiswa hukum. Melatih kompetensi keilmuan dengan ikut perlombaan memiliki diferensiasi unik dengan sekedar belajar hukum di kelas. Ikut kompetensi peradilan semu (moot court) dapat menambah pemahaman akan ilmu hukum secara praktis, ditambah lagi dengan pengalaman menelaah kasus-kasus karena mengharuskan riset lapangan. Lomba debat melatih mahasiswa hukum menyusun argumentasi secara runtut dan logis, demikian pula lomba menulis dan penelitian-penelitian mahasiswa sangat mendukung terbentuknya skill menulis yang baik. Lomba legal drafting melatih aspek praktis penyusunan peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan kaidahnya. Keikutsertaan lomba-lomba yang demikian disamping mengasah keilmuan, juga mengasah skill lain yang dibutuhkan seorang mahasiswa hukum seperti menulis dan berargumentasi.
Tidak semua ilmu hukum didapatkan di kelas, ilmu kompetensi hukum yang mengajarkan teori-teori bisa didapatkan di sana, namun tidak dengan pengalaman-pengalaman sosial dan jaringan yang diperoleh di organisasi-organisasi mahasiswa. Bergabung dalam organisasi mahasiswa berarti melatih diri beradaptasi dengan lingkungan pergaulan, belajar memahami realitas sosial di masyarakat, melatih membentuk logika hukum, mengasah kemampuan bekerja sama dan berkreasi dalam tekanan.
Tidak kurang pentingnya untuk seorang mahasiswa hukum ialah organisasi memberi kesempatan membangun jaringan, melatih menyampaikan gagasan di depan umum dan public speaking, melakukan kerja-kerja kolektif hanya mungkin diperoleh melalui organisasi. Retorika debat, lobi negosiasi, dan kemampuan jurnalistik merupakan skill berorganisasi dan itu hidden curriculum yang tidak akan diperoleh di ruang-ruang kelas kuliah. Ruang kuliah seringkali hanya mencekoki dengan teori-teori, tetapi realitas hukum hari ini di-update di ruang-ruang diskusi di kampus. Jadi tidak perlu heran jika di Fakultas Hukum setiap sore ada forum-forum diskusi. Ini kewajaran, justru aneh jika budaya berdiskusi itu tidak hidup. Lebih-lebih lagi skill tersebut akan sangat terasa manfaatnya ketika memasuki dunia pasca-kampus.
Berorganisasi pun jika tidak di-manage dengan baik justru bisa bikin bablas. Agar aktivitas organisasi tidak mengorbankan kuliah, pastikan kita melakukan manajemen waktu dengan baik antara kuliah dan organisasi. Saya berikan beberapa tips singkat mengenai aktivitas organisasi mengingat pentingnya aktivitas ini bagi seorang mahasiswa hukum. Di sini saya memaparkannya singkat saja, semoga saya dapat menuliskannya lebih banyak dalam tulisan yang lain. Pertama, pentingnya membuat skala prioritas. Mana yang harus didahulukan untuk diselesaikan. Ini sangat mendukung efektif efisien. Sense menentukan prioritas ini akan terlatih seiring waktu dalam menjalani aktivitas organisasi. Kedua, fokus ketika sedang mengeksekusi suatu pekerjaaan. Mudahnya, ketika di kelas ya fokus kuliah, ketika di sekretariat organisasi ya fokus berorganisasi. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Ketiga, pilih organisasi sesuai passion. Ada banyak sekali organisasi mahasiswa di kampus dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Pilih organisasi yang bisa mendongkrak skill sebagai mahasiswa hukum. Organisasi adalah wadah mengasah potensi. Keempat, pilih organisasi yang lingkungannya baik. Bagaimanapun juga, organisasi akan membentuk lingkungan pergaulan di kampus. Memilih organisasi sama dengan memilih lingkaran kawan sepermainan. Pada akhirnya akan menentukan apakah bergabung organisasi tersebut akan memberikan dampak baik atau buruk. Jadi, asahlah skill sebagai seorang mahasiswa hukum sebagai modal menjadi intelektual hukum.
Apa peran dan kontribusi mahasiswa hukum dalam penegakan hukum di Indonesia?
Jika kita membuka kembali lembaran sejarah Republik ini, nama-nama seperti Soepomo, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Kusumah Atmadja, Iwa Koesoema Soemantri, Sutan Syahrir dan sederet nama-nama lainnya adalah begawan-begawan hukum yang berperan besar dalam proses berdirinya Indonesia merdeka. Mereka sangat paham bahwa kemerdekaan dan kolonialisme adalah dua hal yang berseberangan sehingga kemerdekaan harus direbut. Kolonialisme itu menindas, tidak pernah menegakkan keadilan maka kolonialisme harus dilawan dan dihapuskan dan itu yang mereka perjuangkan hingga Republik ini berdiri. Inilah yang saya maksud esensi dari belajar hukum, keadilan dan keberpihakan. Intelektual hukum memperjuangkan nilai hukum yang berkeadilan. Menjadi mahasiswa berarti siap mengemban tugas-tugas sosial mahasiswa, memasuki pasca mahasiswa pun demikian.
Hingga hari ini pun dunia hukum kita masih mewarisi tatanan hukum kolonial itu. Spirit hukum yang memerdekakan belum sepenuhnya hadir. Kita tahu hukum-hukum produk kolonialisme tidak pernah berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Peran mahasiswa hukum hari ini adalah mengubah tatanan yang demikian dan mengawal penegakannya. Tentu ini bukan sebuah proses yang instan. Setidaknya ada dua hal kontribusi mahasiswa hukum bagi penegakan hukum yang berkeadilan di negeri ini. Pertama, tuntaskan tugas mulia belajar hukum dengan sebaik-baiknya. Terus mengasah kompetensi keilmuan hukum agar benar-benar menjadi intelektual hukum paripurna. Di samping itu, tidak hanya belajar teori-teori hukum dengan baik, namun juga mengasah nilai-nilai integritas, adil dan berpihak yang nantinya menjadi modal bagi seorang intelektual hukum untuk melanjutkan tongkat estafet mengisi kemerdekaan Republik ini. Kedua, ambil peran mengawal isu-isu hukum hari ini melalui gerakan-gerakan sosial dan bergabung organisasi. Peran yang kedua ini menyempurnakan tugas mahasiswa hukum untuk memperbaiki tatanan hukum negara ini sejak dini. Maka mari kita niatkan diri untuk tidak mewarisi generasi pendahulu yang memilih bergelimang dengan kejumudan. Jika kita adalah pemilik sah Republik ini, maka mari turun tangan dan ambil peran untuk memperbaikinya. Kata Bung Hatta, “hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku, ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku”.
Sebagai penutup, saya mengutip sebuah kalimat sajak Agus R. Sarjono berjudul Sajak Palsu yang ditulis tahun 1998: ”Masa sekolah demi masa sekolah berlalu, mereka pun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu, sebagian menjadi guru, ilmuwan atau seniman palsu.” Jangan jadi sarjana hukum palsu!
Wallahu a’lam bisshawab.
Rumah Inspirasi, 19 Februari 2017
Share on Google Plus

About Unknown

0 comments:

Post a Comment